Senin, 21 April 2014

Hukum Islam arti dan maknanya dalam upaya penegakan syari'at

                                                                                                                                           
 Hukum Islam arti dan maknanya dalam upaya penegakan Syari’at di Indonesia
            Oleh : Imam Kurnia Aryana
                   41038100131025
      Mahasiswa Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum
Universitas Islam Nusantara ( UNINUS ) Bandung Jawa Barat
                    Dalam Bimbingan :                                                        
1.Prof. DR. KH. Dedi Ismatullah, SH MH. Ketua Pasca Sarjana Ilmu Hukum                           
              Universitas Islam Nusantara (UNINUS) Bandung.
 2. Prof. Emeritus Dr, H. Lili Rasjidi, SH ,S. Sos. ,LLM. Dosen Pasca Sarjana
       Ilmu Hukum Universitas Islam Nusantara (UNINUS) Bandung.                      
              Untuk mata kuliah Metodologi Penelitian Hukum     

ABSTRAKSI

Klimaks dari adanya krisis ekonomi global memberikan dampak yang sangat hebat bagi negara- negara diseluruh dunia. Salah satu dari dampak yang begitu dahsyat itu adalah runtuhnya kekuasaan diberbagai negara. Tak terkecuali di Indonesia. Rezim yang telah berkuasa selama 32 tahun itu akhirnya jatuh setelah diturunkan oleh massa rakyat karena sudah tak tahan lagi dengan beban penderitaan yang cukup berat terutama akibat adanya kebobrokan dikalangan pemerintahan ditambah lagi beban ekonomi yang semakin menggila disaat krisis ekonomi dunia melanda Indonesia. Isyu tentang kembali kepada syari’at Islam menyeruak dengan begitu hebatnya pasca kejatuhan Soeharto. Banyak Partai Politik yang didirikan dengan menggunakan simbol kebesaran Islam bahkan berikut azasnya karena keinginan agar bagaimana sistem pemerintahan dijalankan dengan menggunakan syari’at Islam. Apel-apel besar diberbagai lapangan Indonesia juga tak kalah bergeloranya meneriakkan tentang penegakan syari’at Islam. Tidak hanya dilapangan politik tapi disegenap sistem kehidupan berbangsa dan bernegara umat Islam di Indonesia merindukan penegakan syari’at Islam. Begitu pula pada bidang ekonomi Bank-bank yang tadinya tidak menggunakan kata syari’at kini telah berganti namanya dengan penambahan kata syari’at pada papan namanya lalu menjamurlah Bank-Bank Syari’ah.
Kini enambelas tahun sudah kita menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara dalam alam reformasi. Tapi....kenyataan setelah teriakan-teriakan untuk kembali kepada syari’at islam diperdengarkan ...bahkan kekecewaan oleh kenyataan ber-reformasi bertambah dengan adanya kenyataan bahwa....prilaku yang dituntut dari ajaran Islam lho kok semakin jauh apalagi korupsi berikut foya-foya kemewahan dikalangan pemerintahan ditunjukkan ...ditambah hal-hal yang dilarang agama malah dipertontonkan terlebih oleh elit yang justru memiliki kepemahaman cukup baik dibidang syari’at...contohnya...(sulit untuk diungkapkan)/ mohon maaf karena tidak kuat untuk dituliskan.

A.    Pendahuluan.


            Banyak pelajaran yang bisa kita ambil dari kenyataan sekarang tentang bagaimana prilaku para pemerintahan di Indonesia juga keinginan tentang penegakan syari’at Islam yang semakin jauh dari harapan terkait pelaksanaannya diberbagai bidang kehidupan.Krisis kepercayaan yang begitu besar dari masyarakat kepada segenap unsur pelaksana kehidupan bernegara dan bermasyarakat tak bisa dihindarkan. Ini menjadi gambaran perkembangan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara di Indonesia.
           
Memang wajar kalau sebagian besar umat Islam di Indonesia menginginkan prilaku para pemerintahannya mengikuti perintah ajaran Islam serta agar bagaimana syari’at itu tegak pada berbagai sendi kehidupan terutama pada sistem politik dan ekonomi sebab hampir seratus persen agama yang dipeluk oleh bangsa Indeonesia adalah agama Islam. Jadi Umat Islam merupakan mayoritas penghuni bumi yang bernama Indonesia. Walaupun Indonesia bukan negara Islam.
           
Ditengah perjalanan untuk merapihkan kehidupan berbangsa dan bernegara dialam yang disebut dengan alam reformasi muncul pro dan kontra soal isyu penegakan syari’at Islam apalagi ditengah – tengah hal itu contoh prilaku dari kalangan pejabat birokrasi, para politisi bahkan kalangan elit Islam malah memperlihatkan prilaku yang justru kontra produktif dengan kehidupan umat Islam yang telah dicontohkan oleh para Imam-Imam besar para sahabat atau juga Baginda Nabi SAW. Hal ini sangat memprihatinkan bahkan menuju kearah pelecehan keagungan kebesaran ajaran Islam.
           
Para elit atau tokoh agama Islampun seakan tak lagi santer untuk memperdengarkan buluh suara mengenai isu penegakan syari’at.Orang-orang yang tak mengerti tentang apa itu syari’at Islam mulai kelihatan banyak omong dan pertanyaan mengenai konsep syari’at Islam dengan pengamalannya dalam masalah perbankkanpun mulai dipertanyakan kalangan muslim di Indonesia. Benarkah penerapan konsep bagi hasil dan anti bunga (riba) itu memang diterapkan oleh para perbankkan yang menggunakan kata  Syari’at dalam operasionalisasinya dan plang papan namanya? (Demikian bunyi pertanaan yang muncul keatas permukaaan ).
           
Kalau dulu penegakakkan Syari’at Islam didengungkan bahkan disuarakan begitu cukup hebat dikalangan para partai Islam bahkan utamanya dari kalangan para Kiyai atau para pesantren kini bahkan nyaris tak terdengar lagi...Kemanakah suara para politisi Partai Islam tersebut berikut para Kiyai Pesantren itu sekarang?.. Kalau meminjam istilah dalang iklan obat OSKADON ..disebutkan” bablas angine”, katanya.
           
Dengan kondisi yang sangat memprihatinkan seperti sekarang ini pihak kalangan yang tak menyukai Islampun sudah berani memperlihatkan wajah aslinya kepada upaya penegakan Syari’at Islam seperti yang terjadi baru-baru ini di Bali. Dimana salah seorang siswa SMUN 2 Denpasar Bali yang bernama Anita Whardani usia 17 tahun yang dilarang menggunakan jilbabnya disekolah oleh Kepala Sekolahnya. Anita harus rela menggunakan jilbabnya hanya dirumah saja dan selama lima semester dia tak diperkenankan membawa atribut atau simbol ke-Islamannya ke sekolah (pakai jilbab).[1]Dan kini Anita baru saja diperbolehkan untuk memakai atribut ke-Islamannya setelah kasus ini dipertanyakan oleh kalangan aktivis pergerakan Islam kepada Pemerintah diberbagai daerah dan terutama di pusat Pemerintahan (Jakarta).
           
Kasus seperti ini harus bisa menjadi pelajaran penting bagi umat Islam. Terutama dengan adanya masalah Phobia dan alergi terhadap simbol-simbol dan atribut agama Islam. Ketua Pimpinan Majelis Intelektual Ulama Muda Indonesia (MIUMI), Hamid Fahmi Zarkasyi, mengatakan “ Ini lagi-lagi karena lemahnya toleransi dan pluralisme sosiologis umat non Muslim. Masalah yang paling mendasar adalah karena non- Muslim tidak memahami atau bahkan tidak mau untuk memahami ajaran Islam. Yaitu Islam dalam arti sebagai agama dan peradaban yang otomatis menciptakan kultur, tradisi dan trend kehidupan. “, katanya.[2]   

B.     Sekularisme, Pragmatisme dan Liberalisme ditengah opini penegakan Syari’at Islam.

     Isyu lain yang tak kalah gencarnya dibicarakan seiring dengan mencuatnya isyu penegakan syari’at Islam disegenap sendi kehidupan yaitu tentang runtuhnya Kapitalisme, Sekularisme dan Pragmatisme. Hal ini menjadi topik yang menghangatkan suasana diskusi ditengah-tengah pembicaraan terkait penegakan Syari’at Islam. Ketiga variabel kata ini dijadikan sebab-musabab tentang runtuhnya moral, etika, kepedulian dan keberpihakan kepada nasib orang lain yang tertindas, Korupsi yang semakin menggila dan yang terutama adalah sekian puluh bahkan ratusan juta nasib umat Islam di Indonesia yang semakin tak karu-karuan.
           
Disamping untuk memenuhi tugas yang dibebankan kepada penulis sebagai mahasiswa pada program pasca Sarjana (S2) fakultas Hukum Universitas Islam Nusantara untuk mata kuliah Pengantar Sejarah Sosial Hukum penulis juga berharap agar pemikiran yang tertuang dalam makalah ini bisa menjadi sumber ilham bagi pembicaraan berikutnya terkait dengan keberadaan penerapan Hukum Islam di Nusantara. Hal-hal yang digurat sehingga menjadi tulisan dalam kesempatan ini adalah bahan pemikiran yang penulis temukan semenjak mengawali langkah sebagai aktivis pergerakan Indonesia umumnya dan aktivis pergerakan Islam pada khususnya.
           
Tulisan ini juga diarahkan kepada hal-hal yang berdimensi da’wah Islamiah, maksudnya adalah agar bagaimana kita umat Islam memiliki motivasi seterusnya untuk mengkaji dan mendalami Syari’at Islam. Tulisan ini juga diarahkan untuk menjadi stimulan bagi gerakan da’wah dimana saja untuk menelaah, mengkaji dan terutama menyempurnakan langkah penerapan Syari’at dimana saja terutama penyempurnaan kepada langkah-langkah atau methode da’wah Islamiah.
            Kembali kepada persoalan Sekularisme, Pragmatisme dan Liberalisme yang lebih sering disebutkan dengan istilah spilis terutama oleh kalangan pergerakan Islam, masalah-masalah ini disebutkan menjadi penyebab dari maraknya keberanian untuk melakukan kemaksiatan. Spilis telah menjadikan seorang anak manusia cenderung kepada selalu bermegah-megahan dalam  arti daripada kecendrungan kemegahan itu adalah keserakahan kepada kebendaan atau yang lebih populer disebut serakah adalah selalu mementingkan aspek materi diatas persoalan lainnya.
            Sebagaimana yang disampaikan Alloh SWT didalam Al-Qur’anul Karim, yakni Surat- AT-Takatsur ayat 1 sampai dengan ayat 8 ;
Dengan nama Alloh Yang Maha Luas dan kekal belas kasih-Nya kepada orang Mukmin Lagi Maha Penyayang kepada Semua Mahluk-Nya; 1. Wahai manusia, kalian disibukkan oleh perlombaan membanggakan kekayaan. 2. Sampai kalian masuk ke liang kubur. 3. Wahai manusia jangan begitu. Kalian kelak akan tahu. 4. Wahai manusia jangan begitu, kalian kelak akan tahu. 5. Wahai manusia sekiranya kalian yakin akan adanya akhirat kalian tidak akan berbuat begitu. 6. Sungguh kalian akan menyaksikan adzab neraka jahiim. 7. Sungguh kalian akan menyaksikan adzab neraka jahiim dengan matakepala sendiri.8. Kemudian pada hari kiamat kalian akan ditanyai tentang semua nikmat yang telah kalian terima didunia. ( Al-Qur’an Al- Karim ).
C.    Umat Islam Harus Memperbaiki Diri Dengan Membawa Islam Dalam Kehidupannya.
            Kebersamaan dan persatuan diantara institusi berlabelkan Islam juga antara Muslim satu dengan lainnya masih dipertanyakan dalam rangka memenangkan aspirasi penegakan Syari’at Islam. Maksudnya adalah persatuan dan kesatuannya. Karena ini akan menjadi sumber kekuatan bagi Islam di Indonesia dalam rangka memenangkan aspirasi penegakan Syari’at Islam. Ketua Umum Persatuan Islam (PERSIS) Prof.Dr. KH.Maman Abdurrahman di Tabloid Suara Islam menyampaikan : “Saya kira pada tahun ini umat Islam perlu untuk memperbaiki diri dalam posisi politik, ekonomi, sosial, dakwah dan sebagainya. Untuk politik, partai-partai Islam belum mampu menampilkan persatuan dan kebersamaan, terutama pada PPP, PBB, PAN, PKB dan PKS. Merekalah partai Islam yang berasaskan Islam dan partai berbasis massa Islam.
            Sejak Masyumi bubar pada tahun 1960 di Era Pemerintahan Orde Lama, partai-partai Islam telah mengalami degradasi. Hal itu disebabkan partai Islam tidak membawa Islam dalam kehidupan kepartaian. Sehingga kedepannya partai Islam perlu membawa Islam dalam kehidupannya “.[3]
            Dua kalimat yang cocok untuk digaris bawahi adalah ; 1.Partai Islam tidak membawa Islam dalam kehidupan kepartaian. 2. Umat Islam perlu untuk memperbaiki diri dalam posisi politik, ekonomi, sosial, dakwah dan sebagainya.
            Problem bagaimana Islam harus dibawa didalam aspek kehidupan seorang manusia serta bagaimana umat Islam harus mereposisi peran juga kontribusi partisipasinya pada beberapa bidang kehidupannya seperti bidang politik, ekonomi, sosial, dakwah dan lain sebagainya membawa alam pemahaman kita kepada bagaimana kita memahami tentang arti pentingnya untuk memahami arti dari perlunya Hukum atau Fiqh atau Syari’at Islam ini ditegakkan.
            Maka kerangka berpikir diatas akan mengantarkan kita kepada letak strategis guna mempelajari juga mendalami mengenai konteks Syari’at, Fiqih dan juga Hukum Islam tentunya. Sekilas sebelum penulis lebih panjang lebar membicarakan berbagai hal mengenai Hukum Islam maka penulis ingin menyampaikan bahwa penulis tidak akan menguraikan secara detail terkait arti atau perbedaan definisi dari redaksi Syari’at, Fiqih dan Hukum Islam. Akan tetapi penulis hanya akan menjelaskan sedikit saja tentang perbedaan definisinya sebagai stimulan bagi pendalaman lebih lanjut mengenai letak perbedaan pemahaman Syari’at, Fiqih maupun Hukum Islam. Penulis hanya akan berbicara lebih kepada pemahaman mendasar tentang substansi penerapan Hukum Islam serta bagaimana kita memahami pula letak pentingnya memegang Islam sebagai jalan kehidupan kita, agama yang akan menuntun kita menghadap  sang Rabb dengan penuh gegap gempita karena telah mendapatkan keridhoan sang – Rabb itu.
D.    Fiqih, Syari’at dan Hukum Islam ; Makna dan Artinya.
            Dedi Ismatullah dalam Sejarah Sosial Hukum Islam, mengatakan : “ Ketika seseorang hendak mengkaji dan mendalami Hukum Islam, ada tiga istilah yang terlebih dahulu harus  benar-benar ia pahami. Terlebih, apabila dilihat sepintas, ketiga istilah tersebut sering disinonimkan arti dan maksudnya, yaitu (1) Syari’at, (2) Fiqih, dan  (3) Hukum Islam. Meskipun sebagian Pakar hukum Islam memandang istilah hukum Islam tidak berdiri sendiri karena ia merupakan terjemahan dari Syari’at atau dari Fiqih.[4] Persamaan dan perbedaan untuk lebih mendalami kepada pemahaman juga pemaknaan antara Syari’at, Fiqh dan Hukum Islam.
            Syari’at secara bahasa diasumsikan bahwa syari’at adalah jalan lurus yang menjadi sumber atau pedoman kehidupan.[5] Sedangkan secara terminologis Syari’at identik dengan agama. Jadi, Syari’at adalah ajaran Islam yang sama sekali tidak dicampuri oleh adanya nalar manusia. Syari’at adalah wahyu Alloh SWT secara murni yang bersifat tetap, tidak dapat berubah dan tidak boleh diubah oleh siapapun, kecuali oleh yang Maha mutlak yaitu Alloh SWT. Syari’at dalam pengertian inilah yang dimaksud dalam firman Alloh SWT. Pada ayat 18 ang artina : Kemudian kami jadikan engkau (Muhammad  ) mengikuti Sya ri’at (peraturan) dari agama itu, maka ikutilah ( Syari’at itu ) dan janganlah engkau ikuti keinginan orang-orang yang tidak mengetahui. “( Q.S. AL- Ja^siyah (45:18)). Dengan demikian, Syari’at tidak dapat diartikan dengan Fiqh atau Hukum Islam sebab Fiqh atau Hukum Islam adalah bagian kecil dari Syari’at.[6] 
            Secara terminologis Fiqh berarti daya upaya manusia didalam memahami dan menginterpretasi ajaran wahyu atau hukum syara’ yang terdapat dalam Al-Qur’an. Karena Fiqh hanya merupakan interpretasi dan pemahaman yang bersifat zanni, kebenarannya bersifat relatif. Fiqh terikat oleh situasi dan kondisi yang melingkupinya sehingga Fiqh senantiasa berubah seiring dengan perubahan waktu dan tempat.[7]
            Kata “ Hukum Islam “ tidak ditemukan di dalam Al-Qur’an  dan literatur Hukum dalam  Islam, yang ada dalam Al- Qur’an adalah kata Syari’at, Fiqih, hukum Alloh, dan yang seakar dengannya, atau yang biasa digunakan dalam literatur hukum dalam Islam adalah Syari’at Islam, Fiqh Islam, dan hukum syara’.[8]
            Dengan demikian, Hukum Islampun merupakan istilah khas Indonesia yang agaknya diterjemahkan secara harfiah dari terma Islamic Law dari literatur Barat. Istilah Hukum Islam bukan merupakan terjemahan dari Syari’at, sebab Islamic Law sangat berbeda dengan Syari’at, baik filosofi, sumber pengambilan, tujuan, dan sebagainya.[9]
            Definisi Hukum Islampun berbeda dikalangan para Ulama dan ahli Hukum Islam di Indonesia. Hasbi Ash-Shiddieqy dalam bukunya Falsafah hukum Islam memberikan definisi dengan, “ Koleksi daya upayya Fuqoha dalam menerapkan Syari’at Islam sesuai dengan kebutuhan masyarakat “. Pengertian Hukum Islam dalam definisi ini sama dengan atau sekurang-kurangnya mendekati pada makna Fiqih.[10]
            Sementara itu, Amir Syarifudin memberikan penjelasan bahwa apabila kata “ Hukum “ dihubungkan dengan “ Islam “ Hukum Islam berarti “ Seperangkat peraturan berdasarkan wahyyu Alloh dan sunnah Rasul tentang tingkah laku Mukallaf yang diakui dan diyakini berlaku dan mengikat untuk semua umat yyang beragama Islam. Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa hukum Islam adalah hukum yang berdasarkan wahyu Alloh “. Dengan demikian, Hukum Islam menurut pengertian ini mencakup hukum Syari’at  dan Hukum Fiqih. Dengan kata lain, menurut definisi ini, hukum Islam lebih luas meliputi Syari’ah dan Fiqih. Akan tetapi, jika istilah hukum Islam merupakan adopsi dari istilah Islamic Law, hukum Islam istilah yang sangat berbeda dengan Syari’at dan Fiqih. Sebab dalam Islam, baik Syari’at, fiqih, maupun hukum Islam merupakan bagian dari Dinul-Islam , tidak sebagaimana Islamic Law merupakan bagian dari ajaran suatu agama.[11]
            Dari paparan yang cukup singkat ini terutama berkaitan dengan pengertian Syari’at, Fiqih dan hukum Islam dapatlah ditarik benang merah tentang bagaimana kita harus memahami terlebih dahulu pemahaman sampai kemudian pemaknaan akan arti dari pada Fiqih, Syari’at dan Hukum Islam secara lebih mendasar. Sebab setelahnya maka akan lebih sempurna jikalau kita kemudian akan bergerak menterjemahkannya kedalam wilayah Da’wah Islamiah.
            E.Penutup.
Umat Islam memiliki kepentingan terhadap Da’wah Islamiah dimanapun dia berada akan tetapi akan lebih sempurna jikalau langkah-langkah da’wahnya juga dibarengi dengan upaya pembelajaran, penelaahan dan pendalaman akan arti serta pemaknaan dari adanya masalah Fiqih, Hukum Islam dan Syari’at. Cukup banyak memang bahan-bahan yang bisa dijadikan celoteh dalam pembicaraan terkait dengan problematika penegakan Syari’at di Indonesia akan tetapi karena banyaknya keterbatasan penulis dalam berbagai hal terutama dalam hal disiplin ilmu Hukum maka mungkin pembicaraan tentang Problematika Penegakan Syari’at Islam di Indonesia ini dicukupkan dulu karena sementara pada kesempatan kali ini untuk memenuhi kewajiban penulis dalam mata kuliah Sejarah Ilmu Hukum Yang diasuh oleh ayahanda kita semua Prof. DR. KH. Dedi Ismatullah, SH. MH dan diwajibkan sebagai tugas individu.
        Insya Alloh dikesempatan berikutnya akan penulis lahirkan banyak tulisan ilmiah mengenai persoalan “ Penegakan Syari’at Islam di Indonesia “ dengan bimbingan dari para Professor Doktor Ilmu Hukum ataupun Syari’at Islam dan dilirik dari segi ilmu Hukum tentunya.
Billahi Fi Sabilil Haq                                                                                                   \                                                                               
Bandung, 15 Rabbiul Awal   1434H
                                                                                       16 Maret                 2014M.

           
           

              
              
             
            


              





[1] Suara Islam Edisi 173 29 Rabbiul Awwal – 14 Rabi’ul Akhir 1435 H/ 31 Januari – 14 Februari 2014 M, hal 4.

[2]  Hamid Fahmi Zarkasyi (Ketua Majelis Pimpinan MIUMI), Wawancara Tabloid Suara Islam; judul Jika Islam Minoritas Non Muslim in –toleran, Edisi 173, tanggal 29 Rabi’ul Awwal – 14 Rabi’ul Akhir 1435 H/ 31 Januari – 14 Februari 2014 M.
[3] Maman Abdurrahman, Ketua Umum – Persis; Piagam Jakarta menjiwai UUD 1945; Suara Islam, Edisi 172 tanggal 8- 22 Rabi’ul Awwal 1435 H/ 10-24 Januari 2014 M.
[4] Dedi Ismatullah, Sejarah Sosial Hukum Islam ; Penerbit CV. Pustaka Setia Bandung, Cetakan 1 November tahun 2011: hal 17.

[5] Dedi Ismatullah, Ibid, hal 19.

[6] Dedi Ismatullah, Ibid.

[7] Dedi Ismatullah, Ibid, hal 20.

[8] Dedi Ismatullah, Ibid hal 21.

[9] Dedi Ismatullah, Ibid.

[10] Dedi Ismatullah, ibid.

[11]  Dedi Ismatullah, Ibid .

Tidak ada komentar: