Hukum Islam arti dan maknanya dalam upaya penegakan Syari’at di Indonesia
Oleh : Imam Kurnia Aryana
41038100131025
Mahasiswa
Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum
Universitas Islam Nusantara ( UNINUS ) Bandung Jawa Barat
Dalam Bimbingan :
1.Prof. DR. KH. Dedi Ismatullah, SH
MH. Ketua Pasca Sarjana Ilmu Hukum
Universitas Islam
Nusantara (UNINUS) Bandung.
2. Prof. Emeritus Dr, H. Lili Rasjidi, SH ,S. Sos. ,LLM. Dosen Pasca Sarjana
2. Prof. Emeritus Dr, H. Lili Rasjidi, SH ,S. Sos. ,LLM. Dosen Pasca Sarjana
Ilmu Hukum
Universitas Islam Nusantara (UNINUS) Bandung.
Untuk mata kuliah Metodologi Penelitian Hukum
ABSTRAKSI
Klimaks
dari adanya krisis ekonomi global memberikan dampak yang sangat hebat bagi
negara- negara diseluruh dunia. Salah satu dari dampak yang begitu dahsyat itu
adalah runtuhnya kekuasaan diberbagai negara. Tak terkecuali di Indonesia.
Rezim yang telah berkuasa selama 32 tahun itu akhirnya jatuh setelah diturunkan
oleh massa rakyat karena sudah tak tahan lagi dengan beban penderitaan yang
cukup berat terutama akibat adanya kebobrokan dikalangan pemerintahan ditambah
lagi beban ekonomi yang semakin menggila disaat krisis ekonomi dunia melanda
Indonesia. Isyu tentang kembali kepada syari’at Islam menyeruak dengan begitu
hebatnya pasca kejatuhan Soeharto. Banyak Partai Politik yang didirikan dengan
menggunakan simbol kebesaran Islam bahkan berikut azasnya karena keinginan agar
bagaimana sistem pemerintahan dijalankan dengan menggunakan syari’at Islam.
Apel-apel besar diberbagai lapangan Indonesia juga tak kalah bergeloranya
meneriakkan tentang penegakan syari’at Islam. Tidak hanya dilapangan politik
tapi disegenap sistem kehidupan berbangsa dan bernegara umat Islam di Indonesia
merindukan penegakan syari’at Islam. Begitu pula pada bidang ekonomi Bank-bank
yang tadinya tidak menggunakan kata syari’at kini telah berganti namanya dengan
penambahan kata syari’at pada papan namanya lalu menjamurlah Bank-Bank Syari’ah.
Kini
enambelas tahun sudah kita menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara dalam
alam reformasi. Tapi....kenyataan setelah teriakan-teriakan untuk kembali
kepada syari’at islam diperdengarkan ...bahkan kekecewaan oleh kenyataan
ber-reformasi bertambah dengan adanya kenyataan bahwa....prilaku yang dituntut
dari ajaran Islam lho kok semakin jauh apalagi korupsi berikut foya-foya
kemewahan dikalangan pemerintahan ditunjukkan ...ditambah hal-hal yang dilarang
agama malah dipertontonkan terlebih oleh elit yang justru memiliki kepemahaman
cukup baik dibidang syari’at...contohnya...(sulit untuk diungkapkan)/ mohon
maaf karena tidak kuat untuk dituliskan.
A. Pendahuluan.
Banyak pelajaran yang bisa kita
ambil dari kenyataan sekarang tentang bagaimana prilaku para pemerintahan di
Indonesia juga keinginan tentang penegakan syari’at Islam yang semakin jauh
dari harapan terkait pelaksanaannya diberbagai bidang kehidupan.Krisis
kepercayaan yang begitu besar dari masyarakat kepada segenap unsur pelaksana
kehidupan bernegara dan bermasyarakat tak bisa dihindarkan. Ini menjadi
gambaran perkembangan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara di Indonesia.
Memang
wajar kalau sebagian besar umat Islam di Indonesia menginginkan prilaku para
pemerintahannya mengikuti perintah ajaran Islam serta agar bagaimana syari’at
itu tegak pada berbagai sendi kehidupan terutama pada sistem politik dan
ekonomi sebab hampir seratus persen agama yang dipeluk oleh bangsa Indeonesia
adalah agama Islam. Jadi Umat Islam merupakan mayoritas penghuni bumi yang
bernama Indonesia. Walaupun Indonesia bukan negara Islam.
Ditengah
perjalanan untuk merapihkan kehidupan berbangsa dan bernegara dialam yang
disebut dengan alam reformasi muncul pro dan kontra soal isyu penegakan
syari’at Islam apalagi ditengah – tengah hal itu contoh prilaku dari kalangan
pejabat birokrasi, para politisi bahkan kalangan elit Islam malah memperlihatkan
prilaku yang justru kontra produktif dengan kehidupan umat Islam yang telah
dicontohkan oleh para Imam-Imam besar para sahabat atau juga Baginda Nabi SAW.
Hal ini sangat memprihatinkan bahkan menuju kearah pelecehan keagungan
kebesaran ajaran Islam.
Para elit atau tokoh agama Islampun
seakan tak lagi santer untuk memperdengarkan buluh suara mengenai isu penegakan
syari’at.Orang-orang yang tak mengerti tentang apa itu syari’at Islam mulai
kelihatan banyak omong dan pertanyaan mengenai konsep syari’at Islam dengan
pengamalannya dalam masalah perbankkanpun mulai dipertanyakan kalangan muslim
di Indonesia. Benarkah penerapan konsep bagi hasil dan anti bunga (riba)
itu memang diterapkan oleh para perbankkan yang menggunakan kata Syari’at dalam operasionalisasinya
dan plang papan namanya? (Demikian bunyi pertanaan yang muncul keatas
permukaaan ).
Kalau
dulu penegakakkan Syari’at Islam didengungkan bahkan disuarakan begitu cukup
hebat dikalangan para partai Islam bahkan utamanya dari kalangan para Kiyai
atau para pesantren kini bahkan nyaris tak terdengar lagi...Kemanakah suara
para politisi Partai Islam tersebut berikut para Kiyai Pesantren itu
sekarang?.. Kalau meminjam istilah dalang iklan obat OSKADON ..disebutkan”
bablas angine”, katanya.
Dengan
kondisi yang sangat memprihatinkan seperti sekarang ini pihak kalangan yang tak
menyukai Islampun sudah berani memperlihatkan wajah aslinya kepada upaya
penegakan Syari’at Islam seperti yang terjadi baru-baru ini di Bali. Dimana
salah seorang siswa SMUN 2 Denpasar Bali yang bernama Anita Whardani usia 17
tahun yang dilarang menggunakan jilbabnya disekolah oleh Kepala Sekolahnya.
Anita harus rela menggunakan jilbabnya hanya dirumah saja dan selama lima
semester dia tak diperkenankan membawa atribut atau simbol ke-Islamannya ke
sekolah (pakai jilbab).[1]Dan
kini Anita baru saja diperbolehkan untuk memakai atribut ke-Islamannya setelah
kasus ini dipertanyakan oleh kalangan aktivis pergerakan Islam kepada
Pemerintah diberbagai daerah dan terutama di pusat Pemerintahan (Jakarta).
Kasus
seperti ini harus bisa menjadi pelajaran penting bagi umat Islam. Terutama
dengan adanya masalah Phobia dan alergi terhadap simbol-simbol dan atribut
agama Islam. Ketua Pimpinan Majelis Intelektual Ulama Muda Indonesia (MIUMI),
Hamid Fahmi Zarkasyi, mengatakan “ Ini lagi-lagi karena lemahnya toleransi dan
pluralisme sosiologis umat non Muslim. Masalah yang paling mendasar adalah
karena non- Muslim tidak memahami atau bahkan tidak mau untuk memahami ajaran
Islam. Yaitu Islam dalam arti sebagai agama dan peradaban yang otomatis
menciptakan kultur, tradisi dan trend kehidupan. “, katanya.[2]
B. Sekularisme, Pragmatisme dan Liberalisme ditengah opini penegakan
Syari’at Islam.
Isyu lain yang tak kalah gencarnya
dibicarakan seiring dengan mencuatnya isyu penegakan syari’at Islam disegenap
sendi kehidupan yaitu tentang runtuhnya Kapitalisme, Sekularisme dan
Pragmatisme. Hal ini menjadi topik yang menghangatkan suasana diskusi
ditengah-tengah pembicaraan terkait penegakan Syari’at Islam. Ketiga variabel
kata ini dijadikan sebab-musabab tentang runtuhnya moral, etika, kepedulian dan
keberpihakan kepada nasib orang lain yang tertindas, Korupsi yang semakin
menggila dan yang terutama adalah sekian puluh bahkan ratusan juta nasib umat
Islam di Indonesia yang semakin tak karu-karuan.
Disamping
untuk memenuhi tugas yang dibebankan kepada penulis sebagai mahasiswa pada
program pasca Sarjana (S2) fakultas Hukum Universitas Islam Nusantara untuk
mata kuliah Pengantar Sejarah Sosial Hukum penulis juga berharap agar pemikiran
yang tertuang dalam makalah ini bisa menjadi sumber ilham bagi pembicaraan
berikutnya terkait dengan keberadaan penerapan Hukum Islam di Nusantara.
Hal-hal yang digurat sehingga menjadi tulisan dalam kesempatan ini adalah bahan
pemikiran yang penulis temukan semenjak mengawali langkah sebagai aktivis
pergerakan Indonesia umumnya dan aktivis pergerakan Islam pada khususnya.
Tulisan
ini juga diarahkan kepada hal-hal yang berdimensi da’wah Islamiah, maksudnya
adalah agar bagaimana kita umat Islam memiliki motivasi seterusnya untuk
mengkaji dan mendalami Syari’at Islam. Tulisan ini juga diarahkan untuk menjadi
stimulan bagi gerakan da’wah dimana saja untuk menelaah, mengkaji dan terutama
menyempurnakan langkah penerapan Syari’at dimana saja terutama penyempurnaan
kepada langkah-langkah atau methode da’wah Islamiah.
Kembali kepada persoalan Sekularisme, Pragmatisme dan
Liberalisme yang lebih sering disebutkan dengan istilah spilis terutama oleh
kalangan pergerakan Islam, masalah-masalah ini disebutkan menjadi penyebab dari
maraknya keberanian untuk melakukan kemaksiatan. Spilis telah menjadikan
seorang anak manusia cenderung kepada selalu bermegah-megahan dalam arti daripada kecendrungan kemegahan itu
adalah keserakahan kepada kebendaan atau yang lebih populer disebut serakah
adalah selalu mementingkan aspek materi diatas persoalan lainnya.
Sebagaimana
yang disampaikan Alloh SWT didalam Al-Qur’anul Karim, yakni Surat- AT-Takatsur ayat 1 sampai dengan ayat 8 ;
Dengan nama Alloh Yang
Maha Luas dan kekal belas kasih-Nya kepada orang Mukmin Lagi Maha Penyayang
kepada Semua Mahluk-Nya; 1. Wahai manusia, kalian disibukkan oleh perlombaan
membanggakan kekayaan. 2. Sampai kalian masuk ke liang kubur. 3. Wahai manusia
jangan begitu. Kalian kelak akan tahu. 4. Wahai manusia jangan begitu, kalian
kelak akan tahu. 5. Wahai manusia sekiranya kalian yakin akan adanya akhirat
kalian tidak akan berbuat begitu. 6. Sungguh kalian akan menyaksikan adzab neraka
jahiim. 7. Sungguh kalian akan menyaksikan adzab neraka
jahiim dengan matakepala sendiri.8. Kemudian pada hari kiamat kalian akan
ditanyai tentang semua nikmat yang telah kalian terima didunia.
( Al-Qur’an Al- Karim ).
C. Umat Islam Harus
Memperbaiki Diri Dengan Membawa Islam Dalam Kehidupannya.
Kebersamaan dan persatuan diantara institusi berlabelkan
Islam juga antara Muslim satu dengan lainnya masih dipertanyakan dalam rangka
memenangkan aspirasi penegakan Syari’at Islam. Maksudnya adalah persatuan dan
kesatuannya. Karena ini akan menjadi sumber kekuatan bagi Islam di Indonesia
dalam rangka memenangkan aspirasi penegakan Syari’at Islam. Ketua Umum
Persatuan Islam (PERSIS) Prof.Dr. KH.Maman Abdurrahman di Tabloid Suara Islam
menyampaikan : “Saya kira pada tahun ini umat Islam perlu untuk memperbaiki
diri dalam posisi politik, ekonomi, sosial, dakwah dan sebagainya. Untuk
politik, partai-partai Islam belum mampu menampilkan persatuan dan kebersamaan,
terutama pada PPP, PBB, PAN, PKB dan PKS. Merekalah partai Islam yang
berasaskan Islam dan partai berbasis massa Islam.
Sejak Masyumi bubar pada tahun 1960 di Era Pemerintahan
Orde Lama, partai-partai Islam telah mengalami degradasi. Hal itu disebabkan
partai Islam tidak membawa Islam dalam kehidupan kepartaian. Sehingga
kedepannya partai Islam perlu membawa Islam dalam kehidupannya “.[3]
Dua kalimat yang cocok untuk digaris bawahi adalah ;
1.Partai Islam tidak membawa Islam dalam kehidupan kepartaian. 2. Umat Islam
perlu untuk memperbaiki diri dalam posisi politik, ekonomi, sosial, dakwah dan
sebagainya.
Problem bagaimana Islam harus dibawa didalam aspek
kehidupan seorang manusia serta bagaimana umat Islam harus mereposisi peran juga
kontribusi partisipasinya pada beberapa bidang kehidupannya seperti bidang
politik, ekonomi, sosial, dakwah dan lain sebagainya membawa alam pemahaman
kita kepada bagaimana kita memahami tentang arti pentingnya untuk memahami arti
dari perlunya Hukum atau Fiqh atau Syari’at Islam ini ditegakkan.
Maka kerangka berpikir diatas akan mengantarkan kita
kepada letak strategis guna mempelajari juga mendalami mengenai konteks
Syari’at, Fiqih dan juga Hukum Islam tentunya. Sekilas sebelum penulis lebih
panjang lebar membicarakan berbagai hal mengenai Hukum Islam maka penulis ingin
menyampaikan bahwa penulis tidak akan menguraikan secara detail terkait arti
atau perbedaan definisi dari redaksi Syari’at, Fiqih dan Hukum Islam. Akan
tetapi penulis hanya akan menjelaskan sedikit saja tentang perbedaan
definisinya sebagai stimulan bagi pendalaman lebih lanjut mengenai letak perbedaan
pemahaman Syari’at, Fiqih maupun Hukum Islam. Penulis hanya akan berbicara
lebih kepada pemahaman mendasar tentang substansi penerapan Hukum Islam serta
bagaimana kita memahami pula letak pentingnya memegang Islam sebagai jalan
kehidupan kita, agama yang akan menuntun kita menghadap sang Rabb dengan penuh gegap gempita karena
telah mendapatkan keridhoan sang – Rabb itu.
D. Fiqih, Syari’at
dan Hukum Islam ; Makna dan Artinya.
Dedi Ismatullah dalam Sejarah Sosial Hukum Islam,
mengatakan : “ Ketika seseorang hendak mengkaji dan mendalami Hukum Islam, ada
tiga istilah yang terlebih dahulu harus
benar-benar ia pahami. Terlebih, apabila dilihat sepintas, ketiga
istilah tersebut sering disinonimkan arti dan maksudnya, yaitu (1) Syari’at,
(2) Fiqih, dan (3) Hukum Islam. Meskipun
sebagian Pakar hukum Islam memandang istilah hukum Islam tidak berdiri sendiri
karena ia merupakan terjemahan dari Syari’at atau dari Fiqih.[4]
Persamaan dan perbedaan untuk lebih mendalami kepada pemahaman juga pemaknaan
antara Syari’at, Fiqh dan Hukum Islam.
Syari’at secara bahasa diasumsikan bahwa syari’at adalah
jalan lurus yang menjadi sumber atau pedoman kehidupan.[5]
Sedangkan secara terminologis Syari’at identik dengan agama. Jadi, Syari’at adalah ajaran Islam yang
sama sekali tidak dicampuri oleh adanya nalar manusia. Syari’at adalah wahyu
Alloh SWT secara murni yang bersifat tetap, tidak dapat berubah dan tidak boleh
diubah oleh siapapun, kecuali oleh yang Maha mutlak yaitu Alloh SWT. Syari’at
dalam pengertian inilah yang dimaksud dalam firman Alloh SWT. Pada ayat 18 ang
artina : “Kemudian kami jadikan
engkau (Muhammad ) mengikuti
Sya ri’at (peraturan) dari agama itu, maka ikutilah ( Syari’at itu ) dan
janganlah engkau ikuti keinginan orang-orang yang tidak mengetahui. “( Q.S. AL- Ja^siyah (45:18)). Dengan
demikian, Syari’at tidak dapat diartikan dengan Fiqh atau Hukum Islam sebab
Fiqh atau Hukum Islam adalah bagian kecil dari Syari’at.[6]
Secara
terminologis Fiqh berarti daya upaya
manusia didalam memahami dan menginterpretasi ajaran wahyu atau hukum syara’
yang terdapat dalam Al-Qur’an. Karena Fiqh hanya merupakan interpretasi dan
pemahaman yang bersifat zanni, kebenarannya bersifat relatif.
Fiqh terikat oleh situasi dan kondisi yang melingkupinya sehingga Fiqh
senantiasa berubah seiring dengan perubahan waktu dan tempat.[7]
Kata “ Hukum Islam “ tidak ditemukan di dalam Al-Qur’an dan literatur Hukum dalam Islam, yang ada dalam Al- Qur’an adalah kata
Syari’at, Fiqih, hukum Alloh, dan yang seakar dengannya, atau yang biasa
digunakan dalam literatur hukum dalam Islam adalah Syari’at Islam, Fiqh Islam,
dan hukum syara’.[8]
Dengan demikian, Hukum Islampun merupakan istilah khas
Indonesia yang agaknya diterjemahkan secara harfiah dari terma Islamic Law dari
literatur Barat. Istilah Hukum Islam bukan merupakan terjemahan dari Syari’at,
sebab Islamic Law sangat berbeda dengan Syari’at, baik filosofi, sumber
pengambilan, tujuan, dan sebagainya.[9]
Definisi Hukum Islampun berbeda dikalangan para Ulama dan
ahli Hukum Islam di Indonesia. Hasbi Ash-Shiddieqy dalam bukunya Falsafah hukum Islam memberikan definisi
dengan, “ Koleksi daya upayya Fuqoha dalam menerapkan Syari’at Islam sesuai
dengan kebutuhan masyarakat “. Pengertian Hukum Islam dalam definisi ini sama
dengan atau sekurang-kurangnya mendekati pada makna Fiqih.[10]
Sementara itu, Amir Syarifudin memberikan penjelasan
bahwa apabila kata “ Hukum “ dihubungkan dengan “ Islam “ Hukum Islam berarti “
Seperangkat peraturan berdasarkan wahyyu Alloh dan sunnah Rasul tentang tingkah
laku Mukallaf yang diakui dan diyakini berlaku dan mengikat untuk semua umat
yyang beragama Islam. Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa hukum Islam
adalah hukum yang berdasarkan wahyu Alloh “. Dengan demikian, Hukum Islam
menurut pengertian ini mencakup hukum Syari’at
dan Hukum Fiqih. Dengan kata lain, menurut definisi ini, hukum Islam
lebih luas meliputi Syari’ah dan Fiqih. Akan tetapi, jika istilah hukum Islam
merupakan adopsi dari istilah Islamic Law, hukum Islam istilah yang sangat
berbeda dengan Syari’at dan Fiqih. Sebab dalam Islam, baik Syari’at, fiqih,
maupun hukum Islam merupakan bagian dari Dinul-Islam , tidak sebagaimana
Islamic Law merupakan bagian dari ajaran suatu agama.[11]
Dari paparan yang cukup singkat ini terutama berkaitan
dengan pengertian Syari’at, Fiqih dan hukum Islam dapatlah ditarik benang merah
tentang bagaimana kita harus memahami terlebih dahulu pemahaman sampai kemudian
pemaknaan akan arti dari pada Fiqih, Syari’at dan Hukum Islam secara lebih
mendasar. Sebab setelahnya maka akan lebih sempurna jikalau kita kemudian akan
bergerak menterjemahkannya kedalam wilayah Da’wah Islamiah.
E.Penutup.
Umat
Islam memiliki kepentingan terhadap Da’wah Islamiah dimanapun dia berada akan
tetapi akan lebih sempurna jikalau langkah-langkah da’wahnya juga dibarengi
dengan upaya pembelajaran, penelaahan dan pendalaman akan arti serta pemaknaan
dari adanya masalah Fiqih, Hukum Islam dan Syari’at. Cukup banyak memang bahan-bahan
yang bisa dijadikan celoteh dalam pembicaraan terkait dengan problematika
penegakan Syari’at di Indonesia akan tetapi karena banyaknya keterbatasan
penulis dalam berbagai hal terutama dalam hal disiplin ilmu Hukum maka mungkin
pembicaraan tentang Problematika Penegakan Syari’at Islam di Indonesia ini
dicukupkan dulu karena sementara pada kesempatan kali ini untuk memenuhi
kewajiban penulis dalam mata kuliah Sejarah Ilmu Hukum Yang diasuh oleh
ayahanda kita semua Prof. DR. KH. Dedi Ismatullah, SH. MH dan diwajibkan
sebagai tugas individu.
Insya Alloh dikesempatan berikutnya akan
penulis lahirkan banyak tulisan ilmiah mengenai persoalan “ Penegakan Syari’at
Islam di Indonesia “ dengan bimbingan dari para Professor Doktor Ilmu Hukum
ataupun Syari’at Islam dan dilirik dari segi ilmu Hukum tentunya.
Billahi
Fi Sabilil Haq \
Bandung, 15
Rabbiul Awal 1434H
16 Maret 2014M.
[1]
Suara Islam Edisi 173 29 Rabbiul Awwal – 14 Rabi’ul Akhir 1435 H/ 31 Januari –
14 Februari 2014 M, hal 4.
[2] Hamid Fahmi Zarkasyi (Ketua Majelis Pimpinan
MIUMI), Wawancara Tabloid Suara Islam; judul Jika Islam Minoritas Non Muslim in
–toleran, Edisi 173, tanggal 29 Rabi’ul Awwal – 14 Rabi’ul Akhir 1435 H/ 31
Januari – 14 Februari 2014 M.
[3]
Maman Abdurrahman, Ketua Umum – Persis; Piagam Jakarta menjiwai UUD 1945; Suara
Islam, Edisi 172 tanggal 8- 22 Rabi’ul Awwal 1435 H/ 10-24 Januari 2014 M.
[4]
Dedi Ismatullah, Sejarah Sosial Hukum Islam ; Penerbit CV. Pustaka Setia
Bandung, Cetakan 1 November tahun 2011: hal 17.
[5]
Dedi Ismatullah, Ibid, hal 19.
[6]
Dedi Ismatullah, Ibid.
[7]
Dedi Ismatullah, Ibid, hal 20.
[8]
Dedi Ismatullah, Ibid hal 21.
[9] Dedi
Ismatullah, Ibid.
[10]
Dedi Ismatullah, ibid.
[11] Dedi Ismatullah, Ibid .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar