Komitmen Pribadi dan konsekwensinya : Antara Hukum, Fiqih, Sunnah dan Syari’at Islam.
Oleh : Imam Kurnia Aryana
Mahasiswa
program pasca sarjana (S2) ilmu-ilmu Hukum
NIM : 41038100131025
Fakultas Hukum Universitas
Islam Nusantara (UNINUS) Bandung.
Dalam bimbingan :
1. Prof. DR. Dedi Ismatullah, SH.,
MM
2. Prof. Emeritus., DR. Lili
Rasjidi, SH., MH., LLM., S.sos.
Pendahuluan.
Hukum, Syari’at dan fiqih
menjadi bahan kajian yang menarik dan
beredar luas dimasyarakat perbincangannya diakhir perjalanan pemerintahan
2009-2013 disebabkan banyaknya permasalahan yang terkait dengan hukum, Syari’at
dan fiqih ini akan tetapi tidak sesuai dengan harapan ( masyarakat) dalam hal
ini baik kepada pengharapan akan arah pencerahan sebagai bahan pembelajarannya
dan juga penuntasan atas kasus-kasusnya bahkan cenderung memperlihatkan pertambahan
kasus yang menutup opini publik dengan assumsi bahwa HUKUM atau SYARI’AT di
Indonesia sudah tidak bisa memberikan jaminan kepastian dan keadilan yang
dimaksudkan.
Banyaknya
pelanggaran hukum di Indonesia serta persoalan antara keinginan penegakan
Syari’at Islam dengan prilaku yang terwujud pada tokoh-tokoh agama Islam dan
jauh dari penjelasan Al-Qur’an serta As-Sunah menjadikan rasa kepercayaan
kepada keadilan hukum dan kewibawaan Syari’at Islam menjadi menurun. Hal ini
dapatlah kita pahami dalam lintasan jaman yaitu jaman dimana korupsi (apalagi
korupsi dibidang haji, pengadaan Al-Qur’an misalnya), perzinahan (
perselingkuhan wanita) yang melibatkan tokoh agama terjadi bahkan penegakan
hukum itu kok malah menjadi sepele sehingga memunculkan assumsi di publik kalau
melakukan korupsi ( pelanggaran hukum) itu menjadi hal yang sepele dan
biasa-biasa saja. Dijaman seperti ini terjadi permasalahan diatas, tidak ada
kewibawaan hukum atau syari’at lagi yaitu jaman ( waktu) disaat amanah
reformasi sudah tidak bisa lagi diharapkan perwujudannya, yaitu pada ujung
pemerintahan 2009-2014.
Berbagai
keraguan atas upaya penegakan hukum dan syari’at Islam meruyak ke permukaan.
Suara-suara tidak sekencang dulu lagi, seperti diawal gelindingnya reformasi.
Para pejabat banyak yang berteriak soal anti korupsi dan keharusan supaya hukum
menjadi panglima. Dan... tokoh-tokoh agama Islam banyak bicara soal penegakan
syari’at Islam. Kini urat suara itu yang menggaungkan hukum sebagai panglima
dan penegakan syari’at Islam sebagai icon (garis perjuangan pokok ) utama
dialam reformasi tersebut sudah nyaris tak terdengar. Sehingga kesungguhan akan
apa yang dinginkan dan diucapkan sudah tak liniar lagi. Kini tak ada lagi
kengototan untuk bicara soal penegakan hukum apalagi bicara soal penegakan
syari’at Islam ini. Apalagi kasus korupsi sudah semakin banyak dan kelihatan
jelas dilakukan oleh para pejabat yang notabene mereka itu beragama Islam.Lalu
mereka foya-foya dengan jabatan yang dimilikinya..jelas ini ciri orang yang
suka melanggar hukum.
Kalau kita
renungkan kembali mengenai persoalan diatas, pertanyaan yang muncul kemudian
adalah apa kesalahannya sehingga persoalan ini bisa terjadi dinegri yang
mayoritas jumlah penduduknya berkeyakinan Islam sebagai patokan hidupnya ?.
Pasti ada yang salah sehingga kondisi ibu pertiwi sampai seperti ini..Atau
jangan-jangan ini hanya terjadi pada kalangan elitnya saja bukan kalangan
menengah apalagi bawah..? Sebab pada dasarnya kalangan bawah tidaklah banyak
neko-neko alias manut saja ( bagaimana yang pemimpinnya saja ).
Atau
jangan-jangan mereka yang berteriak mengenai penegakan hukum atau penegakan
syari’at itu hanya latah saja...ikut-ikutan tapi mereka tidak tahu apa artinya
dan apalagi memahami maknanya atau itu cuman jualan politik aja untuk menarik
perhatian tapi soal aplikasinya bukan urusan kita prinsip mereka atau
apalah..sukar dicarikan kata-kata untuk melukiskan apa sebenarnya maksud
orang-orang ini teriak-teriak soal penegakan hukum dan syari’at Islam?.
Syari’at, Hukum
dan fiqih ini semakin menarik saja untuk dipelajari bahkan kemudian sampai kepada
kajiannya secara menyeluruh. Beberapa rujukan (bahan perbandingan) memang
sangat penting demi untuk menambah serangkaian konsep, pemikiran juga
pengetahuan sehingga dapat memperkaya khazanah arti, pemahaman dan pemaknaan
akan persoalan yang sedang kita kaji tentunya.
Syari’at Islam.
Point (nilai)
yang akan menjadi landasan pembahasan haruslah berangkat dari permasalahan
mendasar yang menjadi pertanyaan kita, apakah pertanyaannya itu, pertanyaannya
adalah : Apa urgensi (kepentingan)nya melirik komitmen penegakan kewibawaan
hukum/Syari’at dalam kehidupan sehari-hari oleh individu sebagai subyek
hukum/Syari’at ?.
Nah inilah yang
akan coba kita kembangkan dalam berbagai pintu/aspek hukum/Syari’at sehingga
ada beberapa faktor yang akan menyentuh substansi atau arah yang dimaksudkan
dari jawaban yang kita cari.
Yang pertama
adalah dari Dedi Ismatullah dalam buku karyanya mengatakan bahwa Al-Qur’an
adalah petunjuk yang berisi berbagai ketetapan hukum yang mengatur kehidupan
manusia, mulai dari aturan berketuhanan dan berkeyakinan yang benar, aturan dan
ketentuan cara-cara berbakti kepada Alloh, dan cara-cara bergaul dengan sesama
manusia dalam konteks hubungan Muamalah, sampai pada aturan bersikap dan
bertingkah laku dengan sesama mahluk Alloh. Semua aturan yang tersurat dan
tersirat sudah tersimpul dalam Al-Qur’an. Inilah yang kemudian dinamakan
Syari’at Islam. [1]
Aturan-aturan
dalam agama Islam sudah jelas dan tidak samar itu diperinci baik dalam tatanan
global atau umum maupun dalam tatanan praktis (kegunaan). Semuanya sudah ada
dalam Al-Qur’an. Dan menjadi pedoman pokok bagi Syari’at Islam serta
upaya-upaya aplikasi atau pengamalannya dalam kehidupan sehari-hari. Al-Qur’an
menjelaskan tentang aturan mengenai aspek berketuhanan dan berkeyakinan yang
benar dan disebut al-ahkam al-i’tiqadiyyah, Al- Qur’an juga menjelaskan
mengenai bagaimana manusia mengabdi dan berbakti kepada Alloh SWT dan bergaul
sesama manusia itu dalam konteks Muamalah yang disebut al-ahkam al-‘amaliyyah.
Kemudian selanjutnya ada juga penjelasan Al-Qur’an mengenai bagaimana bersikap
terhadap semesta alam yang disebut dengan al-ahkam al-akhlaqiyyah. [2]
Penggaris
bawahan dengan diangkatnya secuplik pemikiran Dedi Ismatullah ini untuk
kemudian dikaitkan dengan permasalahan yang kita hadapi sekarang yaitu mencari
kaitan antara sosialisasi dan bagaimana lepasnya komitmen pribadi lalu
konsekwensinya ketika manusia itu tidak lagi menjadikan syari’at atau hukum
atau katakanlah Fiqih dalam hal ini, dan tidak segaris antara pernyataan diri
dan aplikasinya dilapangan. Padahal semuanya sudah ada tulisannya apakah itu
KUHP untuk hukum positif misalnya ataukah Al-Qur’an dan As-Sunnah untuk
Syari’at Islam dan Fiqih itu misalnya.
Yang dimaksudkan
dengan sosialisasi adalah yah orang itu cukup menyampaikannya kepada orang lain
saja terkait penegakan syari’at Islam tapi kan komitmen dirinya nggak ada
padahal itu mengandung konsekwensi dan kita bisa membaca dari kenyataan
bagaimana prilaku dia dilapangan. Begitu juga dengan hukum positif yang katanya
harus ditegakkan tapi mana kenyataan dilapangan banyak pejabat pemerintahan
foya-foya kekuasaan dan pamer kekayaan ditambah korupsi meajalela?
Jadi ya tidak
ada penegakan hukum dan juga tidak ada penegakan syari’at Islam yang harusnya
dicontohkan dulu oleh para petingginya atau tokohnya lah.
Kemudian didalam
majalah Bina Dakwah, Dewan Dakwah Islamiah Indonesia (DDII) pada judul Hakekat
Cinta Ka Alloh (hakikat cinta kepada Alloh SWT ), disebutkan dalam Al-Qur’an
Surrat Ali-Imran ayat 31 dan 32, pada ayat 31 ; “ Ucapkanlah olehmu (Muhammad),
kalau kalian mencintai kepada Alloh SWT bersegeralah untuk mengikutiku tentu
Alloh akan mencintai kalian serta Alloh SWT bakal mengampuni kepada dosa-dosa
kalian. Sesungguhnya Alloh Maha Pengampun dan Penyayang “. Selanjutnya ayat 32
: “ Bersegeralah taat kepada Alloh SWT dan RasulNya, serta kalau kalian
mengaburkan sesuatu Alloh tidak menyenangi kepada orang-orang kafir “ (Q.S Ali
Imran a. 32).[3]
Pada ayat ini
kita bisa mempelajari tentang bagaimana Alloh SWT mencintai orang-orang yang
taat kepada Syari’at Islam. Lihat kalimat “ Bersegeralah untuk mengikuti tentu
Alloh SWT mencintai kalian..” pada ayat 31 Q.S. Ali Imran, Alloh SWT menyenangi
orang-orang yang patuh dalam arti melaksanakan dan mengamalkan Syari’at Islam
dalam hidup dan kehidupan sehari-hari.
Kemudian pada
ayat 32, coba perhatikan kalimat yang berbunyi “..kalau kalian mengaburkan
sesuatu Alloh tidak menyenangi kepada orang-orang kafir “...artinya dari soal
ini Umat Islam jangan mencoba-coba untuk mengaburkan Syari’at Islam karena
tentunya Alloh SWT akan menyamainya dengan orang-orang yang kafir. Dan Alloh
SWT tidak menyukai kepada orang-orang yang kafir.
Pada rubrik
Syarah hadits, dengan judul : Al-Ghuraba, Tabloid Suara Islam Edisi 169, tahun
2013 M, disebutkan pada paragraf- paragraf akhir bahwa orang yang berpegang
teguh dengan agama Islam dalam keterasingannya ini tidaklah mendapatkan
kejelekan sedikitpun, sebanyak apapun orang yang mencela dan menyelisihi
mereka. Hadits dari Tsauban radhiallahu anhu-dan ini adalah hadits mutawatir-dia
berkata : Rasulullahu shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda : ‘ Senantiasa ada
sekelompok umatku yang dimenangkan atas kebenaran, tidak akan membahayakannya orang
yang akan memusuhinya hingga hari kiamat sedangkan mereka tetap seperti itu ‘( HR. Muslim ).[4]
Memilih tidak ingkar atas keberadaan syariat Islam :
konsekwensi individu.
Manusia yang
memiliki komitmen pada penegakan Syariat dan Fiqih akan menjadi kekasih Alloh
SWT. Suatu Zat yang memiliki kekuatan dan tak tertandingi. Zat ini pula yang
telah menciptakan seluruh mahluk berikut alam semesta beserta isinya. Dan juga
telah menciptakan aturan-aturannya. Ketaatan kepada aturan yang dibuat oleh
Alloh SWT diwajibkan untuk ditaati dan diamalkan dalam segenap sendi kehidupan
manusia. Karena manusia itu pada hakekatnya adalah ciptaan Alloh SWT.
Berbicara
mengenai konsekwensi yang berkenaan dengan Syari’at dan Fiqih maka arah
pembahasannya akan kita klasifikasikan kepada dua faktor. Yang pertama adalah
faktor konsekwensi atas kepatuhan kepada syari’at dan fiqih dan yang kedua
adalah konsekwensi atas ketidak patuhan kepada syari’at dan fiqih itu. Kedua
faktor ini akan menjadi ukuran catatan prestasi atas perlakuan mahluk (manusia)
itu kepada perintah dari sang Khalik, Alloh SWT, yang telah memproduksi syariat
bagi mahluk selama kehidupannya.
Didalam
Al-Qur’an al-karim pada surat Al-Ahzab ; ayat 36, disebutkan : “ Dan tidaklah
patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin,
apabila Alloh dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi
mereka pilihan (yang lain ) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai
Alloh dan Rasul-Nya, maka sungguhlah Dia telah sesat, sesat yang nyata.
Selanjutnya
bagaimanakah dalam peta pemahaman atas penterjemahan dalil diatas dilatarbelakangi
oleh masalah agar tidak terjadi kesalahan aplikasi dalam kehidupan sehari-hari
yang dilandasi atas interpretasi ayat diatas oleh akal manusia ?. Maka Dedi
Ismatullah dalam karya bukunya Sejarah Sosial Hukum Islam menguraikan : Akan
tetapi, yang pasti, setiap kasus yang terjadi ditengah-tengah masyarakat selalu
ada penyelesaiannya dalam hukum Islam.[5]
Maka berangkat
dari apa yang disampaikan oleh hal-hal diatas, kita Umat Islam tidak akan
memilih faktor yang kedua yaitu faktor dimana kita akan menerima konsekwensi
atas keingkaran (penolakan) atas keberadaan dan adanya syari’at Islam.
Sunnah sumber hukum selain Al-Qur’an.
Sudah disinggung
diatas bahwa sumber rujukan dalam syari’at Islam dan Fiqih itu adalah Al-Qur’an.
Lalu bagaimanakah dengan adanya As-sunnah ini ?.
Berdasarkan
penjelasan dari A. Cholil Ridwan mengenai keberadaan As-Sunnah diuraikan, bahwa
Ulama Fiqih mendefinisikan Sunnah dengan suatu hal mendapatkan pahala apabila
dikerjakan namun tidak sampai mendapatkan dosa bila ditinggalkan. Sementara
menurut Ulama ahli hadis, Sunnah adalah segala sesuatu yang berasal dari Nabi
Muhammad SAW, baik perkataan (qaul), perbuatan (af’al), ketetapan (taqrir),
maupun hal-hal yang lainnya.[6]
Sunnah adalah
wahyu dari Alloh SWT yang harus diikuti sebagaimana Al-Qur’an tanpa bisa
ditawar-tawar lagi. Alloh SWT berfirman : ‘dan tiadalah yang diucapkannya itu
(Al-Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah
wahyu yang diwahyukan (kepadanya)”. (QS. An-Najm (53) : 3-4).[7]
Dalam Al-Qur’an
banyak ayat yang mengandung perintah supaya mengikuti Sunnah serta mengikuti
jejak Rasullulloh SAW dan menjadikannya sebagai standard dalam menentukan
berbagai hukum. Ayat-ayat tersebut bersifat qath’iy (pasti) sehingga tidak
dapat disalah tafsirkan.[8]
Alloh SWT
berfirman : ‘...Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dan apa
yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.” ( QS. Al-Hasyr (59) : 7). “
Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Alloh...”
(QS. Al-Baqarah (2) : 80).[9]
“ Maka demi
Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu
hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam
hati mereka sesuatu keberatan terhadap
putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS.
An-Nisa’ (4) : 65).[10]
Seluruh
ayat-ayat dalam Al-Qur’an tersebut bersifat pasti ketentuan hukumnya. Karena
itu jelaslah, bahwa penolakan terhadap Sunnah sebagai sumber hukum syara’
adalah benar-benar kafir. Sikap yang
demikian sama dengan orang yang menerima sebagian hukum dalam Al-Qur’an dan pada saat yang sama menolak sebagian
hukum yang lain.[11]
Realitasnya kita
sering melihat dalam kehidupan sehari-hari bahwa tidak saja jaman dahulu orang
Muslim ingkar kepada Al-Qur’an, Sunnah, Fiqih dan hukum Islam akan tetapi
dijaman sekarang juga ada yang menjadi ingkar walaupun tidak semua. Kita masih
bisa melihat bagaimana orang Islam dijaman sekarang berani melakukan tindakan
foya-foya jabatan dan kekuasaan, korupsi dan bahkan perzinahan yang kesemuanya
itu diharamkan oleh agama Islam ?.
Dan bukankah
setiap pengingkaran terhadap setiap aspek Syari’at itu berarti kafir ?!!,
sebagaimana yang telah digarisbawahi pada uraian diatas ?!.
Maka haruslah
kita pahami dan kemudian untuk direnungkan mungkin pembangunan sarana atau
fasilitas peribadatan umat Islam memang bertambah banyak tapi hal itu tidak
diikuti oleh pertambahan umat Islam yang takut kepada Alloh SWT lalu
melaksanakan seluruh aspek syari’at ini dengan sebenar-benarnya ?!!.
Memiliki
komitmen pertaubatan kedalam agama Islam yang benar-benar tinggi, sehingga
apapun akan dikorbankan untuk kemuliaan agama Islam ?!!.
Nah inilah yang
kita saksikan pada jaman sekarang ini dimana disatu sisi keinginan untuk
memperbanyak sarana atau fasilitas ibadah agama Islam semakin banyak akan
tetapi disatu sisi lainnya dan pada saat yang bersamaan justru pengingkaran
terhadap aspek syari’at itu dilaksanakan. Disatu sisi sarana ibadah meningkat
dan pada saat itu pula kekafiran semakin bertambah kemudian kemaksiatan
dimana-mana.
Tertib hukum,
fiqih, sunnah dan syari’at dalam segenap sendi kehidupan terutama yang
berimplikasi (berakibat) pada aspek komitmen pribadi yang tentunya
diterjemahkan oleh yang bersangkutan (individu/subyek syari’at ) masih menjadi
tanda tanya besar ?..Benarkah mereka memiliki komitmen pribadi untuk
melaksanakan tertib syari’at dalam kehidupan sehari-harinya pada segenap aspek
kehidupannya ?.
Nah dari sinipun
akan muncul permasalahan berikutnya yaitu bagaimanakah pandangan agama Islam
terhadap prilaku orang-orang yang menyampaikan syari’at kehadapan publik
(masyarakat) akan tetapi komitmen yang bersangkutan (pribadi) tidak ada kepada
menjalankan tertib syari’at dan segala komitmen konsekwensinya didalam
kehidupan sehari-hari dengan berbagai kepatuhan pada syari’’at Islam ?.
Rasulullah SAW
bersabda : “ Alloh tidak menerima iman tanpa amal perbuatan dan tidak menerima
amal perbuatan tanpa iman (Hadis riwayat Ath-Thabrani).[12]
Dari Abdullah bin Mas’ud r.a, : Rasulullah SAW bersabda, “ Barangsiapa berdusta
atas namaku dengan sengaja, hendaklah dia mengambil tempatnya di neraka .”[13]
Sehubungan
dengan diangkatnya kedua cuplikan hadis Rasulullah SAW maka kita akan menarik
pelajaran penting dari faktor bagaimana kita ingin agar syari’at dapat menjadi
landasan hidup dengan segala konsekwensinya yang akan didatangkan kepada kita
dari pembuat syari’at Islam, yaitu Alloh SWT.
Karena kepatuhan
yaitu dalam arti umat Islam telah memilih syari’atnya untuk dijadikan pemimpin
dalam kehidupannya ya berarti umat Islam akan menerima segala hasilnya dari
Yang membuat syari’at (Alloh SWT) setelah disana ada proses dimana ada
pemahaman tentang uji komitmen berikut konsekwensi atas kepatuhan menjalankan
syari’at dari Alloh SWT, atau apa yang disebut dengan tarbiyyatul Muslimin (
Pendidikan dari Alloh SWT kepada pemeluk agama Islam).
Pentingnya point
(pokok jawaban permasalahan) ini disampaikan karena harus menjadi pokok pembelajaran
bagi kita semua dengan adanya keinginan penegakan syari’at Islam. Dan harus
ditegaskan kembali kepada umat Islam bahwa diberlakukannya syari’at ini adalah
membawa berkah bagi pelaksananya dan seluruh alam semesta. Adanya syari’at
Islam tidak membawa ketakutan karena yang takut terutama bagi yang melanggar
syari’at, bagi yang tidak melanggar ya tidak usah harus takut. Laksanakan
perintah ajaran Islam maka dengan sendirinya seorang Muslim itu pada hakekatnya
telah melaksanakan syari’at Islam dan itu akan membawa berkah dalam
kehidupannya.
Menjaga Marhamah (kewibawaan) Syari’at, prilaku
(ahlak) dan beribadah adalah parameter takut kepada Alloh SWT : Fondasi
penegakan Syari’at Islam.
Disamping
keharusan patuh kepada keberadaan hukum, syari’at, sunnah dan fiqih maka aspek
lainnya yang harus dipahami oleh umat Islam adalah bagaimana umat Islam itu
dapat menjaga Marhamah (kewibawaan) hukum, syari’at, sunnah dan fiqih dalam
segenap sendi kehidupannya. Kenapa?, karena ini menyangkut juga harga diri umat
Islam.
Menjaga Marhamah
(kewibawaan) hukum,syari’at, fiqih dan sunnah juga menunjukkan penghargaan
terhadap adanya kekuasaan Alloh SWT. Zat yang memiliki kuasa untuk menegakkan
keteraturan atas berlangsungnya hukum, syariat, fiqih dan sunnah tersebut
dijagat alam semesta ini.
Orang yang bisa
menghargai kepada kekuasaan Alloh SWT ya dengan sendirinya sebetulnya sudah ada
ketaatan dalam dirinya untuk patuh kepada adanya hukum, syari’at, fiqih dan
sunnah ini.
Menegakkan
Syari’at Islam dimuka bumi ya harus berangkat dari ketaatan kepada pembuat
Syari’at yaitu Alloh SWT. Orang yang disebut sebagai penegak syari’at adalah orang
yang takut kepada Alloh SWT. Dan karena ketakutannya kepada Alloh SWT itulah
maka dia menjaga Marhamah (kewibawaan) syari’at lalu kemudian menjalankan
pasal-pasal atau ayatnya (ibadah) dan yang terakhir maka dia juga akan menjaga
segala tingkah lakunya (ahlak) dari kemungkinan datangnya murka Alloh SWT.
[1] Dedi Ismatullah, Kata Pengantar; dalam buku Sejarah Sosial Hukum
Islam.
[2] Ibid.
[3] Bina Dakwah No 386 Mei 2012 M/Djumadil Tsani 1433 H, hal 34 ; Hakekat
Cinta ka Alloh.
[4] Tabloid Suara Islam, Edisi 169 tanggal 18 Muharram – 10 Shaffar 1435
H, Rubrik Syarah Hadits, judul Al-Ghuraba; hal 9.
[5] Ibid, Sejarah Sosial Hukum Islam, hal 7.
[6] Ibid, Rubrik Konsultasi Ulama, hal 18, oleh KH. Cholil Ridwan, LC.
Suara Islam.
[7] Op.cit. Rubrik konsultasi Ulama.
[8] Loc. Op. Cit.
[9] Loc.op.cit.
[10] Op.cit.
[11] Op.cit.
[12] Kumpulan Hadis Nabi, ichsancintaislam, blogspot.com
[13] Koleksi Hadis Nabi dan Penggerak Muslim blogspot.com