Senin, 21 April 2014

Komitmen pribadi dan konsekwensinya : Antara hukum, Fiqih, Sunnah dan Syari'at Islam



Komitmen Pribadi dan konsekwensinya : Antara Hukum, Fiqih, Sunnah dan Syari’at Islam. 

                 Oleh : Imam Kurnia Aryana

Mahasiswa program pasca sarjana (S2) ilmu-ilmu Hukum
                        NIM :   41038100131025
    Fakultas Hukum Universitas Islam Nusantara (UNINUS) Bandung.
     Dalam bimbingan : 
     1.      Prof. DR. Dedi Ismatullah, SH., MM
2.      Prof. Emeritus., DR. Lili Rasjidi, SH., MH., LLM., S.sos.

                                         Pendahuluan.
Hukum, Syari’at dan fiqih menjadi bahan kajian  yang menarik dan beredar luas dimasyarakat perbincangannya diakhir perjalanan pemerintahan 2009-2013 disebabkan banyaknya permasalahan yang terkait dengan hukum, Syari’at dan fiqih ini akan tetapi tidak sesuai dengan harapan ( masyarakat) dalam hal ini baik kepada pengharapan akan arah pencerahan sebagai bahan pembelajarannya dan juga penuntasan atas kasus-kasusnya bahkan cenderung memperlihatkan pertambahan kasus yang menutup opini publik dengan assumsi bahwa HUKUM atau SYARI’AT di Indonesia sudah tidak bisa memberikan jaminan kepastian dan keadilan yang dimaksudkan.   
Banyaknya pelanggaran hukum di Indonesia serta persoalan antara keinginan penegakan Syari’at Islam dengan prilaku yang terwujud pada tokoh-tokoh agama Islam dan jauh dari penjelasan Al-Qur’an serta As-Sunah menjadikan rasa kepercayaan kepada keadilan hukum dan kewibawaan Syari’at Islam menjadi menurun. Hal ini dapatlah kita pahami dalam lintasan jaman yaitu jaman dimana korupsi (apalagi korupsi dibidang haji, pengadaan Al-Qur’an misalnya), perzinahan ( perselingkuhan wanita) yang melibatkan tokoh agama terjadi bahkan penegakan hukum itu kok malah menjadi sepele sehingga memunculkan assumsi di publik kalau melakukan korupsi ( pelanggaran hukum) itu menjadi hal yang sepele dan biasa-biasa saja. Dijaman seperti ini terjadi permasalahan diatas, tidak ada kewibawaan hukum atau syari’at lagi yaitu jaman ( waktu) disaat amanah reformasi sudah tidak bisa lagi diharapkan perwujudannya, yaitu pada ujung pemerintahan 2009-2014.
Berbagai keraguan atas upaya penegakan hukum dan syari’at Islam meruyak ke permukaan. Suara-suara tidak sekencang dulu lagi, seperti diawal gelindingnya reformasi. Para pejabat banyak yang berteriak soal anti korupsi dan keharusan supaya hukum menjadi panglima. Dan... tokoh-tokoh agama Islam banyak bicara soal penegakan syari’at Islam. Kini urat suara itu yang menggaungkan hukum sebagai panglima dan penegakan syari’at Islam sebagai icon (garis perjuangan pokok ) utama dialam reformasi tersebut sudah nyaris tak terdengar. Sehingga kesungguhan akan apa yang dinginkan dan diucapkan sudah tak liniar lagi. Kini tak ada lagi kengototan untuk bicara soal penegakan hukum apalagi bicara soal penegakan syari’at Islam ini. Apalagi kasus korupsi sudah semakin banyak dan kelihatan jelas dilakukan oleh para pejabat yang notabene mereka itu beragama Islam.Lalu mereka foya-foya dengan jabatan yang dimilikinya..jelas ini ciri orang yang suka melanggar hukum.
Kalau kita renungkan kembali mengenai persoalan diatas, pertanyaan yang muncul kemudian adalah apa kesalahannya sehingga persoalan ini bisa terjadi dinegri yang mayoritas jumlah penduduknya berkeyakinan Islam sebagai patokan hidupnya ?. Pasti ada yang salah sehingga kondisi ibu pertiwi sampai seperti ini..Atau jangan-jangan ini hanya terjadi pada kalangan elitnya saja bukan kalangan menengah apalagi bawah..? Sebab pada dasarnya kalangan bawah tidaklah banyak neko-neko alias manut saja ( bagaimana yang pemimpinnya saja ).
Atau jangan-jangan mereka yang berteriak mengenai penegakan hukum atau penegakan syari’at itu hanya latah saja...ikut-ikutan tapi mereka tidak tahu apa artinya dan apalagi memahami maknanya atau itu cuman jualan politik aja untuk menarik perhatian tapi soal aplikasinya bukan urusan kita prinsip mereka atau apalah..sukar dicarikan kata-kata untuk melukiskan apa sebenarnya maksud orang-orang ini teriak-teriak soal penegakan hukum dan syari’at Islam?.
Syari’at, Hukum dan fiqih ini semakin menarik saja untuk dipelajari bahkan kemudian sampai kepada kajiannya secara menyeluruh. Beberapa rujukan (bahan perbandingan) memang sangat penting demi untuk menambah serangkaian konsep, pemikiran juga pengetahuan sehingga dapat memperkaya khazanah arti, pemahaman dan pemaknaan akan persoalan yang sedang kita kaji tentunya.
Syari’at Islam.
Point (nilai) yang akan menjadi landasan pembahasan haruslah berangkat dari permasalahan mendasar yang menjadi pertanyaan kita, apakah pertanyaannya itu, pertanyaannya adalah : Apa urgensi (kepentingan)nya melirik komitmen penegakan kewibawaan hukum/Syari’at dalam kehidupan sehari-hari oleh individu sebagai subyek hukum/Syari’at ?.
Nah inilah yang akan coba kita kembangkan dalam berbagai pintu/aspek hukum/Syari’at sehingga ada beberapa faktor yang akan menyentuh substansi atau arah yang dimaksudkan dari jawaban yang kita cari.
Yang pertama adalah dari Dedi Ismatullah dalam buku karyanya mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah petunjuk yang berisi berbagai ketetapan hukum yang mengatur kehidupan manusia, mulai dari aturan berketuhanan dan berkeyakinan yang benar, aturan dan ketentuan cara-cara berbakti kepada Alloh, dan cara-cara bergaul dengan sesama manusia dalam konteks hubungan Muamalah, sampai pada aturan bersikap dan bertingkah laku dengan sesama mahluk Alloh. Semua aturan yang tersurat dan tersirat sudah tersimpul dalam Al-Qur’an. Inilah yang kemudian dinamakan Syari’at Islam. [1]
Aturan-aturan dalam agama Islam sudah jelas dan tidak samar itu diperinci baik dalam tatanan global atau umum maupun dalam tatanan praktis (kegunaan). Semuanya sudah ada dalam Al-Qur’an. Dan menjadi pedoman pokok bagi Syari’at Islam serta upaya-upaya aplikasi atau pengamalannya dalam kehidupan sehari-hari. Al-Qur’an menjelaskan tentang aturan mengenai aspek berketuhanan dan berkeyakinan yang benar dan disebut al-ahkam al-i’tiqadiyyah, Al- Qur’an juga menjelaskan mengenai bagaimana manusia mengabdi dan berbakti kepada Alloh SWT dan bergaul sesama manusia itu dalam konteks Muamalah yang disebut al-ahkam al-‘amaliyyah. Kemudian selanjutnya ada juga penjelasan Al-Qur’an mengenai bagaimana bersikap terhadap semesta alam yang disebut dengan al-ahkam al-akhlaqiyyah. [2]
Penggaris bawahan dengan diangkatnya secuplik pemikiran Dedi Ismatullah ini untuk kemudian dikaitkan dengan permasalahan yang kita hadapi sekarang yaitu mencari kaitan antara sosialisasi dan bagaimana lepasnya komitmen pribadi lalu konsekwensinya ketika manusia itu tidak lagi menjadikan syari’at atau hukum atau katakanlah Fiqih dalam hal ini, dan tidak segaris antara pernyataan diri dan aplikasinya dilapangan. Padahal semuanya sudah ada tulisannya apakah itu KUHP untuk hukum positif misalnya ataukah Al-Qur’an dan As-Sunnah untuk Syari’at Islam dan Fiqih itu misalnya.
Yang dimaksudkan dengan sosialisasi adalah yah orang itu cukup menyampaikannya kepada orang lain saja terkait penegakan syari’at Islam tapi kan komitmen dirinya nggak ada padahal itu mengandung konsekwensi dan kita bisa membaca dari kenyataan bagaimana prilaku dia dilapangan. Begitu juga dengan hukum positif yang katanya harus ditegakkan tapi mana kenyataan dilapangan banyak pejabat pemerintahan foya-foya kekuasaan dan pamer kekayaan ditambah korupsi meajalela?
Jadi ya tidak ada penegakan hukum dan juga tidak ada penegakan syari’at Islam yang harusnya dicontohkan dulu oleh para petingginya atau tokohnya lah.
Kemudian didalam majalah Bina Dakwah, Dewan Dakwah Islamiah Indonesia (DDII) pada judul Hakekat Cinta Ka Alloh (hakikat cinta kepada Alloh SWT ), disebutkan dalam Al-Qur’an Surrat Ali-Imran ayat 31 dan 32, pada ayat 31 ; “ Ucapkanlah olehmu (Muhammad), kalau kalian mencintai kepada Alloh SWT bersegeralah untuk mengikutiku tentu Alloh akan mencintai kalian serta Alloh SWT bakal mengampuni kepada dosa-dosa kalian. Sesungguhnya Alloh Maha Pengampun dan Penyayang “. Selanjutnya ayat 32 : “ Bersegeralah taat kepada Alloh SWT dan RasulNya, serta kalau kalian mengaburkan sesuatu Alloh tidak menyenangi kepada orang-orang kafir “ (Q.S Ali Imran a. 32).[3]
Pada ayat ini kita bisa mempelajari tentang bagaimana Alloh SWT mencintai orang-orang yang taat kepada Syari’at Islam. Lihat kalimat “ Bersegeralah untuk mengikuti tentu Alloh SWT mencintai kalian..” pada ayat 31 Q.S. Ali Imran, Alloh SWT menyenangi orang-orang yang patuh dalam arti melaksanakan dan mengamalkan Syari’at Islam dalam hidup dan kehidupan sehari-hari.
Kemudian pada ayat 32, coba perhatikan kalimat yang berbunyi “..kalau kalian mengaburkan sesuatu Alloh tidak menyenangi kepada orang-orang kafir “...artinya dari soal ini Umat Islam jangan mencoba-coba untuk mengaburkan Syari’at Islam karena tentunya Alloh SWT akan menyamainya dengan orang-orang yang kafir. Dan Alloh SWT tidak menyukai kepada orang-orang yang kafir.
Pada rubrik Syarah hadits, dengan judul : Al-Ghuraba, Tabloid Suara Islam Edisi 169, tahun 2013 M, disebutkan pada paragraf- paragraf akhir bahwa orang yang berpegang teguh dengan agama Islam dalam keterasingannya ini tidaklah mendapatkan kejelekan sedikitpun, sebanyak apapun orang yang mencela dan menyelisihi mereka. Hadits dari Tsauban radhiallahu anhu-dan ini adalah hadits mutawatir-dia berkata : Rasulullahu shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda : ‘ Senantiasa ada sekelompok umatku yang dimenangkan atas kebenaran, tidak akan membahayakannya orang yang akan memusuhinya hingga hari kiamat sedangkan mereka tetap seperti itu ‘( HR. Muslim ).[4]
Memilih tidak ingkar atas keberadaan syariat Islam : konsekwensi individu.
Manusia yang memiliki komitmen pada penegakan Syariat dan Fiqih akan menjadi kekasih Alloh SWT. Suatu Zat yang memiliki kekuatan dan tak tertandingi. Zat ini pula yang telah menciptakan seluruh mahluk berikut alam semesta beserta isinya. Dan juga telah menciptakan aturan-aturannya. Ketaatan kepada aturan yang dibuat oleh Alloh SWT diwajibkan untuk ditaati dan diamalkan dalam segenap sendi kehidupan manusia. Karena manusia itu pada hakekatnya adalah ciptaan Alloh SWT.
Berbicara mengenai konsekwensi yang berkenaan dengan Syari’at dan Fiqih maka arah pembahasannya akan kita klasifikasikan kepada dua faktor. Yang pertama adalah faktor konsekwensi atas kepatuhan kepada syari’at dan fiqih dan yang kedua adalah konsekwensi atas ketidak patuhan kepada syari’at dan fiqih itu. Kedua faktor ini akan menjadi ukuran catatan prestasi atas perlakuan mahluk (manusia) itu kepada perintah dari sang Khalik, Alloh SWT, yang telah memproduksi syariat bagi mahluk selama kehidupannya.
Didalam Al-Qur’an al-karim pada surat Al-Ahzab ; ayat 36, disebutkan : “ Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Alloh dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain ) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Alloh dan Rasul-Nya, maka sungguhlah Dia telah sesat, sesat yang nyata.
Selanjutnya bagaimanakah dalam peta pemahaman atas penterjemahan dalil diatas dilatarbelakangi oleh masalah agar tidak terjadi kesalahan aplikasi dalam kehidupan sehari-hari yang dilandasi atas interpretasi ayat diatas oleh akal manusia ?. Maka Dedi Ismatullah dalam karya bukunya Sejarah Sosial Hukum Islam menguraikan : Akan tetapi, yang pasti, setiap kasus yang terjadi ditengah-tengah masyarakat selalu ada penyelesaiannya dalam hukum Islam.[5]
Maka berangkat dari apa yang disampaikan oleh hal-hal diatas, kita Umat Islam tidak akan memilih faktor yang kedua yaitu faktor dimana kita akan menerima konsekwensi atas keingkaran (penolakan) atas keberadaan dan adanya syari’at Islam.
Sunnah sumber hukum selain Al-Qur’an.
Sudah disinggung diatas bahwa sumber rujukan dalam syari’at Islam dan Fiqih itu adalah Al-Qur’an. Lalu bagaimanakah dengan adanya As-sunnah ini ?.
Berdasarkan penjelasan dari A. Cholil Ridwan mengenai keberadaan As-Sunnah diuraikan, bahwa Ulama Fiqih mendefinisikan Sunnah dengan suatu hal mendapatkan pahala apabila dikerjakan namun tidak sampai mendapatkan dosa bila ditinggalkan. Sementara menurut Ulama ahli hadis, Sunnah adalah segala sesuatu yang berasal dari Nabi Muhammad SAW, baik perkataan (qaul), perbuatan (af’al), ketetapan (taqrir), maupun hal-hal yang lainnya.[6]
Sunnah adalah wahyu dari Alloh SWT yang harus diikuti sebagaimana Al-Qur’an tanpa bisa ditawar-tawar lagi. Alloh SWT berfirman : ‘dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)”. (QS. An-Najm (53) : 3-4).[7]
Dalam Al-Qur’an banyak ayat yang mengandung perintah supaya mengikuti Sunnah serta mengikuti jejak Rasullulloh SAW dan menjadikannya sebagai standard dalam menentukan berbagai hukum. Ayat-ayat tersebut bersifat qath’iy (pasti) sehingga tidak dapat disalah tafsirkan.[8]
Alloh SWT berfirman : ‘...Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.” ( QS. Al-Hasyr (59) : 7). “ Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Alloh...” (QS. Al-Baqarah (2) : 80).[9]
“ Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka  sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An-Nisa’ (4) : 65).[10]
Seluruh ayat-ayat dalam Al-Qur’an tersebut bersifat pasti ketentuan hukumnya. Karena itu jelaslah, bahwa penolakan terhadap Sunnah sebagai sumber hukum syara’ adalah benar-benar kafir.  Sikap yang demikian sama dengan orang yang menerima sebagian hukum dalam Al-Qur’an  dan pada saat yang sama menolak sebagian hukum yang lain.[11]
Realitasnya kita sering melihat dalam kehidupan sehari-hari bahwa tidak saja jaman dahulu orang Muslim ingkar kepada Al-Qur’an, Sunnah, Fiqih dan hukum Islam akan tetapi dijaman sekarang juga ada yang menjadi ingkar walaupun tidak semua. Kita masih bisa melihat bagaimana orang Islam dijaman sekarang berani melakukan tindakan foya-foya jabatan dan kekuasaan, korupsi dan bahkan perzinahan yang kesemuanya itu diharamkan oleh agama Islam ?.
Dan bukankah setiap pengingkaran terhadap setiap aspek Syari’at itu berarti kafir ?!!, sebagaimana yang telah digarisbawahi pada uraian diatas ?!.
Maka haruslah kita pahami dan kemudian untuk direnungkan mungkin pembangunan sarana atau fasilitas peribadatan umat Islam memang bertambah banyak tapi hal itu tidak diikuti oleh pertambahan umat Islam yang takut kepada Alloh SWT lalu melaksanakan seluruh aspek syari’at ini dengan sebenar-benarnya ?!!.
Memiliki komitmen pertaubatan kedalam agama Islam yang benar-benar tinggi, sehingga apapun akan dikorbankan untuk kemuliaan agama Islam ?!!.
Nah inilah yang kita saksikan pada jaman sekarang ini dimana disatu sisi keinginan untuk memperbanyak sarana atau fasilitas ibadah agama Islam semakin banyak akan tetapi disatu sisi lainnya dan pada saat yang bersamaan justru pengingkaran terhadap aspek syari’at itu dilaksanakan. Disatu sisi sarana ibadah meningkat dan pada saat itu pula kekafiran semakin bertambah kemudian kemaksiatan dimana-mana.
Tertib hukum, fiqih, sunnah dan syari’at dalam segenap sendi kehidupan terutama yang berimplikasi (berakibat) pada aspek komitmen pribadi yang tentunya diterjemahkan oleh yang bersangkutan (individu/subyek syari’at ) masih menjadi tanda tanya besar ?..Benarkah mereka memiliki komitmen pribadi untuk melaksanakan tertib syari’at dalam kehidupan sehari-harinya pada segenap aspek kehidupannya ?.
Nah dari sinipun akan muncul permasalahan berikutnya yaitu bagaimanakah pandangan agama Islam terhadap prilaku orang-orang yang menyampaikan syari’at kehadapan publik (masyarakat) akan tetapi komitmen yang bersangkutan (pribadi) tidak ada kepada menjalankan tertib syari’at dan segala komitmen konsekwensinya didalam kehidupan sehari-hari dengan berbagai kepatuhan pada syari’’at Islam ?.
Rasulullah SAW bersabda : “ Alloh tidak menerima iman tanpa amal perbuatan dan tidak menerima amal perbuatan tanpa iman (Hadis riwayat Ath-Thabrani).[12] Dari Abdullah bin Mas’ud r.a, : Rasulullah SAW bersabda, “ Barangsiapa berdusta atas namaku dengan sengaja, hendaklah dia mengambil tempatnya di neraka .”[13]
Sehubungan dengan diangkatnya kedua cuplikan hadis Rasulullah SAW maka kita akan menarik pelajaran penting dari faktor bagaimana kita ingin agar syari’at dapat menjadi landasan hidup dengan segala konsekwensinya yang akan didatangkan kepada kita dari pembuat syari’at Islam, yaitu Alloh SWT.
Karena kepatuhan yaitu dalam arti umat Islam telah memilih syari’atnya untuk dijadikan pemimpin dalam kehidupannya ya berarti umat Islam akan menerima segala hasilnya dari Yang membuat syari’at (Alloh SWT) setelah disana ada proses dimana ada pemahaman tentang uji komitmen berikut konsekwensi atas kepatuhan menjalankan syari’at dari Alloh SWT, atau apa yang disebut dengan tarbiyyatul Muslimin ( Pendidikan dari Alloh SWT kepada pemeluk agama Islam).
Pentingnya point (pokok jawaban permasalahan) ini disampaikan karena harus menjadi pokok pembelajaran bagi kita semua dengan adanya keinginan penegakan syari’at Islam. Dan harus ditegaskan kembali kepada umat Islam bahwa diberlakukannya syari’at ini adalah membawa berkah bagi pelaksananya dan seluruh alam semesta. Adanya syari’at Islam tidak membawa ketakutan karena yang takut terutama bagi yang melanggar syari’at, bagi yang tidak melanggar ya tidak usah harus takut. Laksanakan perintah ajaran Islam maka dengan sendirinya seorang Muslim itu pada hakekatnya telah melaksanakan syari’at Islam dan itu akan membawa berkah dalam kehidupannya.
Menjaga Marhamah (kewibawaan) Syari’at, prilaku (ahlak) dan beribadah adalah parameter takut kepada Alloh SWT : Fondasi penegakan Syari’at Islam.
Disamping keharusan patuh kepada keberadaan hukum, syari’at, sunnah dan fiqih maka aspek lainnya yang harus dipahami oleh umat Islam adalah bagaimana umat Islam itu dapat menjaga Marhamah (kewibawaan) hukum, syari’at, sunnah dan fiqih dalam segenap sendi kehidupannya. Kenapa?, karena ini menyangkut juga harga diri umat Islam.
Menjaga Marhamah (kewibawaan) hukum,syari’at, fiqih dan sunnah juga menunjukkan penghargaan terhadap adanya kekuasaan Alloh SWT. Zat yang memiliki kuasa untuk menegakkan keteraturan atas berlangsungnya hukum, syariat, fiqih dan sunnah tersebut dijagat alam semesta ini.
Orang yang bisa menghargai kepada kekuasaan Alloh SWT ya dengan sendirinya sebetulnya sudah ada ketaatan dalam dirinya untuk patuh kepada adanya hukum, syari’at, fiqih dan sunnah ini.
Menegakkan Syari’at Islam dimuka bumi ya harus berangkat dari ketaatan kepada pembuat Syari’at yaitu Alloh SWT. Orang yang disebut sebagai penegak syari’at adalah orang yang takut kepada Alloh SWT. Dan karena ketakutannya kepada Alloh SWT itulah maka dia menjaga Marhamah (kewibawaan) syari’at lalu kemudian menjalankan pasal-pasal atau ayatnya (ibadah) dan yang terakhir maka dia juga akan menjaga segala tingkah lakunya (ahlak) dari kemungkinan datangnya murka Alloh SWT.












[1] Dedi Ismatullah, Kata Pengantar; dalam buku Sejarah Sosial Hukum Islam.
[2] Ibid.
[3] Bina Dakwah No 386 Mei 2012 M/Djumadil Tsani 1433 H, hal 34 ; Hakekat Cinta ka Alloh.
[4] Tabloid Suara Islam, Edisi 169 tanggal 18 Muharram – 10 Shaffar 1435 H, Rubrik Syarah Hadits, judul Al-Ghuraba; hal 9.a



[5] Ibid, Sejarah Sosial Hukum Islam, hal 7.
[6] Ibid, Rubrik Konsultasi Ulama, hal 18, oleh KH. Cholil Ridwan, LC. Suara Islam.
[7] Op.cit. Rubrik konsultasi Ulama.
[8] Loc. Op. Cit.
[9] Loc.op.cit.
[10] Op.cit.
[11] Op.cit.
[12] Kumpulan Hadis Nabi, ichsancintaislam, blogspot.com
[13] Koleksi Hadis Nabi dan Penggerak Muslim blogspot.com